Pendidikan
merupakan hal yang sangat penting, baik pendidikan formal maupun non-formal.
Pendidikan pada dasarnya adalah serangkaian kegiatan yang terencana dan
terukur. Menurut Notoatmojo (2003: 16) pendidikan adalah segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau
masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan.
Pendidikan bukan
sekadar kegiatan menyampaikan ilmu oleh guru atau pendidik kepada siswa atau
peserta didik. Syahidin (2009: 3) menyatakan ada tiga misi utama pendidikan,
yaitu pewarisan pengetahuan (transfer of
knowledge), pewarisan budaya (transfer
of Culture), dan pewarisan nilai (transfer
of value). Melalui pendidikan, pendidikan menyampaikan pengetahuan yang
dimiliki. Pengetahuan ini akan digunakan peserta didik untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang dikatakan sebagai budaya. Artinya,
melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki akan membentuk budaya. Pendidikan juga
menyampaikan nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Pengetahuan yang baik akan
membentuk budaya dan nilai yang baik pula.
Begitu besar
pengaruh keberhasilan pendidikan terhadap keberlangsungan manusia. Demi
mewujudkan tujuan itu, maka pendidikan perlu mendapat perhatian dan pengelolaan
unsur-unsurnya dengan baik. Adapun unsur-unsur dalam pendidikan antara lain,
meliputi: pendidik, peserta didik, sarana prasarana, dan kurikulum. Unsur-unsur
tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain.
Pada tulisan ini
akan dikaji lebih jauh tentang unsur pendidik. Pendidik merupakan orang yang
menyampaikan sesuatu, baik ilmu, budaya, maupun nilai. Pendidik secara formal
disebut juga dengan guru atau dosen. Sebagai salah satu unsur dalam pendidikan,
pendidik memiliki peran dominan. Ibarat dalam sebuah pertunjukkan wayang, pendidik
adalah dalang; pendidik adalah sutradara. Pendidik memiliki otoritas dalam
mengatur jalannya pembelajaran. Pendidik dapat mengatur pembelajaran agar
berhasil.
Diberlakukannya The Elementary and Secondary Education Act
of 1965 (ESEA) atau yang lebih dikenal dengan No Child Left Behind Act of 2001 (NCLB) menuntut kualitas dan
kinerja guru yang lebih baik. Hal ini diukur dari pengetahuan dan kinerja di
awal karir. Pengukuran yang lain berdasarkan penilaian pengajaran yang
terus-menerus melalui berbagai cara, seperti pengembangan dan evaluasi profesi.
Penilaian
pengajaran di kelas memiliki banyak bentuk
yang melibatkan pemangku kepentingan – guru dan administratur – yang
memiliki tanggung jawab utama bagi program pengajaran (Danielson & McGreal,
2000; Glickman Gordon, & Ross-Gordon, 1998; Sullivan & Glanz, 2004;
Stronge & Tucker, 2003; Zepeda, 2003a). Penilaian pengajaran dan
pembelajaran sangat kompleks. Hal ini dikarenakan pengetahuan “guru” bersifat
kontekstual, interaktif, tidak rutin, dan spekulatif” (Blasé & Blasé, 1998,
hal. 88).
Penilaian pengajaran harus mendukung (Coppola,
Scricca, & Connors, 2004) untuk membantu anak-anak dalam mengembangkan
praktik pengajaran dan dapat meningkatkan pembelajaran (Firestone, 1999; dll).
Penilaian ini secara proaktif melibatkan para guru dalam penilaian diri
(Barber, 1990; dll) dan refleksi (Laursen, 1996). Keterlibatan para guru akan
meningkatkan penilaian melampaui apa yang disampaikan Darling-Hammond (1997b).
Darling-Hammond mencirikan hal ini seperti “para inspektur yang melakukan
penggerebekkan ke dalam kelas guna memantau kinerja dan memberi penilaian tanpa
pengetahuan yang sesuai konteks kelas, pokok bahasan diajarkan, tujuan
pengajaran, dan pengembangan masing-masing anak” (hal. 67).
Tulisan ini mengkaji
penilaian pengajaran dengan terfokus pada aspek-aspek formatif dari pengawasan
pengajaran, teknik observasi kelas, dan pendekatan terdiferensiasi. Penggunaan
penelitian tindakan, pelatihan teman sebaya, dan portofolio dapat digunakan untuk
meningkatkan penilaian pengajaran. Pengajaran dan pembelajaran merupakan inti
dari program pengajaran.
Penelitian yang
dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa kualitas guru
merupakan salah satu prediktor yang paling penting untuk prestasi siswa (Darling-Hammond,
1997a, 1997b). Pengetahuan guru tentang bidang muatan dan efektivitas dalam
metode pengajaran juga berkorelasi dengan prestasi siswa (Strahan, 2003;
Stronge dkk., 2004). Dalam The National
Board for Professional Teaching Standards (1989) dinyatakan bahwa
pengajaran harus memiliki kriteria penguasaan seni dan ilmu pengetahuan yang
luas; penguasaan materi yang akan diajarkan; keterampilan yang akan
dikembangkan; struktur dan bahan; pengetahuan tentang model mengajar dan
evaluasi; pengetahuan siswa dan perkembangan manusia secara umum; mengajar
dengan memperhatikan peserta didik.
Sebagian besar penelitian awal tentang pengajaran
terpusat kepada pengaruh pengajaran. Berikut ini faktor-faktor utama yang
selalu menunjukkan pengajaran yang efektif meliputi: kalender akademik (Brophy,
1986; dll), penentuan kurikulum dan pengajaran (Berliner, 1984), alokasi waktu
dan pengelolaan waktu (Good & Brophy, 1986), harapan yang tinggi (Edmonds,
1986; Guskey, 1982), transisi yang cekatan (Emmer, Evertson, & Anderson
1980; dll), dan strategi pengelolaan kelas dan disiplin yang jelas yang
diterapkan secara wajar dan konsisten (Emmer dkk. 1980; dll).
Dikeluarkannya A
Nation at Risk: The Imperative for Educational Reform pada
tahun 1983 mengangkat pembahasan tentang efektivitas dan kualitas guru.
Alasan pentingnya pengetahuan guru guna meningkatkan pembelajaran siswa mulai
mengakar pada akhir tahun 1980an, sesudah diterbitkannya A Nation Prepared: Teachers for the 21st Century
(Carnegie Forum on Education, 1986), Badan Nasional Standar Pengajaran
Profesional (NBPTS) dibentuk (Danielson, 1996). Keyakinan dan pandangan NBPTS
adalah bahwa kualitas guru dan prestasi siswa dapat ditingkatkan dengan
menaikkan standar, memperkuat program persiapan pendidikan, yang menuntut para
guru untuk berpartisipasi dalam penilaian berbasis kinerja dan akhir-akhir ini
terfokus kepada hasil pengajaran.
Lima masalah inti dikembangkan untuk membantu guru
dalam mengidentifikasi dan mengenali agar pembelajaran berjalan efektif. Lima
hal itu meliputi:
1. guru
berkomitmen terhadap siswa dan pembelajarannya,
2. guru
mengetahui subjek (pelajaran) yang diajarkan dan metodenya,
3. guru
bertanggung jawab untuk mengelola dan memantau pembelajaran siswa,
4. guru
hendaknya berpikir sistematis dan belajar dari refleksi, serta
5. guru
merupakan anggota dalam komunitas pembelajaran yang dilakukan.
Kelima
hal di atas sangat efektif untuk meningkatkan pembelajaran siswa dan mampu menunjukkan
tingkat pengetahuan, keterampilan, watak dan komitmen yang tinggi.
Standar INTASC menawarkan sebuah pandangan yang luas
mengenai pengetahuan. Standar ini merupakan dasar bagi pengajaran yang efektif.
Standar ini sudah meliputi pengetahuan, watak, dan standar kinerja. Kriteria
standar itu meliputi: 1) pokok bahasan, 2) pembelajaran siswa, 3) pembelajaran
yang beragam, 4) strategi pengajaran, 5) lingkungan belajar, 6) komunikasi, 7)
merencanakan pengajaran, 8) penilaian, 9) refleksi dan pengembangan profesi,
dan 10) kolaborasi, etika, dan hubungan.
Orang bijak berkata : "Bahasa itu cermin kepribadian bagi penuturnya"
BalasHapusImam Syafi'ie Ra : "Mendalami bahasa itu bisa meluweskan jiwa"
Sayidina Umar Ra : "Pelajari bahasa, kelak ianya mampu lembutkan hati"
maaf sekedar numpang koment Bu Indrya
bukan begitu Bu Indrya ?!.
BalasHapusoya, sekalian izin tuk baca2 ya Bu untuk perluasan wawasan pribadi saya.